TEORI SOSIOLOGI IBNU KHALDUN IBNU Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad
Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir
Khalid
ibn
Ibrahim
ibn
Muhamad
ibn
Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan
Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja
menjadi
diangkat
ia
sewaktu
Mesir
Pengadilan di Mesir. Ibnu Khaldun menisbatkan
utsman
Ibn
Khalid
kepada
dirinya
Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama
penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan, dan pengalamannya. Ibn Khaldun,nama ini begitu
dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti
fenomenalnya
buku
dalam
tertuang
yang
“muqaddimah” dianggap sebagai bibit
Penelitiannya tentang
Sosiologi.
Ilmu
kelahiran
sejarah dengan menggunakan metode
berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga
kemunculan
dari
bibit
sebagai
disebut
Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal
Politik
tentang
pemikirannya
mendukung
Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan. Asal Mula Negara (daulah) Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain
sehingga
kehidupannya,
mempertahankan
kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury)
Pendapat ini agaknya
(Muqaddimah: 41).
dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum
untuk semuanya
dan
untuk dimakan,
siap
dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan
Khaldun
Ibn
menurut
hidup,
mempertahankan
manusia memerlukan bantuan dalam
pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta
makhluk-
antara
kekuatan
membagi-bagi
telah
makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah
makhluk
masing-masing
kepada
memberikan
hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang,
kegiatan
melakukan
ataupun
mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi
keharusan.
sebuah
merupakan
kemasyarakatn
Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan
memerlukan
masyarakat
maka
peradaban,
seseorang yang dengan pengaruhnya
betindak sebagai penengah dan pemisah antara
manusia
karena
Ini
masyarakat.
anggota
mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan
mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat
otoritas
mempunyai
masyarakat,
anggota
kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’
اﻟﻮازع ). Dengan demikian tidak akan ada anggota
(
masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan
dan
otoritas
mempunyai
yang
seseorang
mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur
bekerja
dapat
tidak
penengah
menjadi
sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu
sebuah
terbentuklah
hingga
lain
yang
(daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam
mirip dengan yang dikemukakan oleh
agaknya
Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal
mengatakan
sendiri
ia
meskipun
baru,
teorinya ini adalah yang baru. Tetapi
membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya
sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang
Inderawi
pengamatan
pada
berdasarkan
analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial Selain apa yang telah dipaparkan diatas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain
‘ashabiyah
yaitu
(daulah),
Negara
pembentuk
( ﻴّﺔ ـ اﻟﻌﺼﺒ ). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para
modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme
sentimen
atau
nasionalisme,
kesukuan,
Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori
Badawah
yaitu
fundamental
sosial
(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau
ﺣﻀﺎرة )(kehidupan
daerah gurun) dan Hadharah (
kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120).
menurutnya
kota
Penduduk
berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang
meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan
yang
Daerah
123).
(Muqaddimah:
berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui
kota.
penduduk
daripada
berani
lebih
penduduk kota malas dan suka yang
kenikmatan
dalam
larut
Mereka
mudah.
kemewahan. Mereka mempercayakan
penguasa.
kepada
harta
dan
diri
keamanan
Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-
tak
dan
kota
luar
di
jauh
tempat
Karena
tentara.
pengawasan
mendapatkan
mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat
kelompok
sentimen
memiliki
harus
pedalaman
(‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan
manusia,
sejarah
perjalanan
dalam
pendorong
memiliki
yang
Klan
klan.
suatu
pembangkit
‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki
biasanya terikat
solidaritas sosial. Setiap suku
pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin
Solidaritas
sempurna.
dengan
rakyatnya
menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas
solidaritas
atas
di
berada
yang
sosial
masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap
mengikutinya
patuh
dan
tunduk
untuk
(Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar
daripada
kekuasaan
memiliki
mampu
lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah,
kekuasaan
memiliki
mampu
lebih
mereka
merampas segala sesuatu yang berada
genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena
keberanian
melalui
dimiliki
kekuasaan
kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian
khususnya
Barbar
dan
‘Arab
masyarakat
pada
yang memang menjalani kehidupan
dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas
memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada
bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain.
negara
demikian,
situasi
Dalam
memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang
dijadikan
dan
kedaulatannya
dalam
ke
kuat
sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari
memperoleh
tambah
bukan
kehancuran,
kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn
itu
bangsa
suatu
apabila
Khaldun
kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas
(‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah
manusia
watak
pada
terdapat
tersebut
dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan
tempat
keTuhanan,
persamaan
atau
berdekatan atau bertetangga, persekutuan
aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang
menurut
Arab
bangsa
Khusus
dilindungi.
Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti.
Bangsa yang
Bangsa Arab adalah
menurutnya,
paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing
menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya
yang
kesukuan/qabilah
‘ashabiyyah
memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151).
Agama
motivasi
bahwa
pula,
menurutnya
tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama
memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan
tetap
tetapi
keampuhannya,
menambah
membutuhkan motivasi-mativasi lain
diluar
hal-hal
pada
bertumpu
(Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh
pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan
suku,
aneka
beragam
mempunyai
yang
dalam keadaan demikian masing-masing
mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn
Raja haruslah
seorang
bahwa
Khaldun menilai
berasal dari solidaritas kelompok yang
mengendalikan
dalam
Sebab
dominan.
negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan. Khilafah, Imamah, Sulthanah Khilafah menurut Ibn Khaldun
Agama
berlandaskan
yang
pemerintahan
memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau
pengganti
adalah
Khilafah
Sulthan.
Muhammad dengan tugas mempertahankan
kepemimpinan
menjalankan
dan
agama
Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga
berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya
sosial.
organisasi
terhadap
manusia
hukum wajibnya adalah fardhu
(Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat
Imam, ataupun Sulthan, yaitu:
bagi khalifah,
Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama
sebelumnya
Muslim
Pemikir
dengan
keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani
banyak
yang
jumlahnya
Dengan
Mudhar.
solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki
yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan
kewibawaannya, serta mereka hormat
keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh
keturunan
syarat
atau
Quraisy,
suku
didahulukan daripada kemampuan. Ini
didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy
diharapkan,
lagi
dapat
tidak
sudah
kepemimpinan dapat berpindah ke suku
kewibawaan,
mempunyai
yang
lain
kelompok
solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa
haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Ibn Khaldun berpendapat
pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan
membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah
kehendak dan
mengikuti
lebih
(mulk)
kerajaan
hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan
pada
ini
jenis
Pemerintahan
anarki.
sekarang menyerupai pemerintahan
inkonstitusional.
atau
otokrasi,
individualis,
Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah
membawa
yang
pemerintahan
yaitu
‘aqliyah),
rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah
berasaskan
yang
Pemerintahan
kemudharatan.
Undang-undang yang dibuat oleh
pandai.
orang
dan
cendekiawan
Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada
sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah),
membawa
yang
pemerintahan
yaitu
rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai
itu
pemerintahan
kebijaksanaan
asas
ajaran Agama, khususnya Islam, maka
Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan
rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Shalat yang harus diikuti
rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191).
nampak
diatas,
pemerintahan
pembagian
Dari
bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur
Rabi’
Abi
Ibn
dan
Al-Farabi
dibanding
pengklasifikasian pemerintahan. Ia
memandang pada sisi personalnya, juga
jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
‘ashabiyyah,
teorinya
Berdasarkan
Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau
tahap,
lima
menjadi
peradaban
(Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang
menggulingkan kedaulatan dari
sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap
penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya.
memimpin
ini, orang yang
Pada tahap
senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka
pemerintahannya.
ingin turut serta dalam
yang
Maka segala perhatiannya ditujukan
kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan
penguasa
perhatian
Segala
dinikmati.
telah
tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap
tahap
Pada
berlebihan.
dan
boros
hidup
penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun
Generasi
1.
generasi, yaitu:
tiga
memunculkan
Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas
Generasi
2.
didukungnya.
yang
kekuasaan
Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam
terhadap
lagi
peka
tidak
menjadi
kekuasaan,
kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi
negara
keruntuhan
maka
ini,
ketiga
sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan
diantara
‘Ashabiyyah
dengan
ditambah
membuat mereka berusaha keras
mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan
kemudian
tercapai
yang
Impian
keras.
yang
memunculkan sebuah peradaban baru.
biasanya
pula
ini
baru
peradaban
kemunculan
diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan
kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
0 comments:
Post a Comment
Jika anda menyukai artikel ini, mohon dikomentari dengan cara yang sopan dan santun.