Friday, April 26, 2013

TEORI SOSIOLOGI IBNU KHALDUN

TEORI SOSIOLOGI IBNU KHALDUN IBNU Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdu al-Rahman ibn Muhamad

Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir

Khalid

ibn

Ibrahim

ibn

Muhamad

ibn

Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan

Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja

menjadi

diangkat

ia

sewaktu

Mesir

Pengadilan di Mesir. Ibnu Khaldun menisbatkan

utsman

Ibn

Khalid

kepada

dirinya

Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama

penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan, dan pengalamannya. Ibn Khaldun,nama ini begitu

dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti

fenomenalnya

buku

dalam

tertuang

yang

“muqaddimah” dianggap sebagai bibit

Penelitiannya tentang

Sosiologi.

Ilmu

kelahiran

sejarah dengan menggunakan metode

berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga

kemunculan

dari

bibit

sebagai

disebut

Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal

Politik

tentang

pemikirannya

mendukung

Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan. Asal Mula Negara (daulah) Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain

sehingga

kehidupannya,

mempertahankan

kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury)

Pendapat ini agaknya

(Muqaddimah: 41).

dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum

untuk semuanya

dan

untuk dimakan,

siap

dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan

Khaldun

Ibn

menurut

hidup,

mempertahankan

manusia memerlukan bantuan dalam

pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta

makhluk-

antara

kekuatan

membagi-bagi

telah

makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah

makhluk

masing-masing

kepada

memberikan

hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang,

kegiatan

melakukan

ataupun

mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi

keharusan.

sebuah

merupakan

kemasyarakatn

Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan

memerlukan

masyarakat

maka

peradaban,

seseorang yang dengan pengaruhnya

betindak sebagai penengah dan pemisah antara

manusia

karena

Ini

masyarakat.

anggota

mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan

mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat

otoritas

mempunyai

masyarakat,

anggota

kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’

اﻟﻮازع ). Dengan demikian tidak akan ada anggota

(

masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan

dan

otoritas

mempunyai

yang

seseorang

mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur

bekerja

dapat

tidak

penengah

menjadi

sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu

sebuah

terbentuklah

hingga

lain

yang

(daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam

mirip dengan yang dikemukakan oleh

agaknya

Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal

mengatakan

sendiri

ia

meskipun

baru,

teorinya ini adalah yang baru. Tetapi

membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya

sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang

Inderawi

pengamatan

pada

berdasarkan

analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.

Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial Selain apa yang telah dipaparkan diatas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain

‘ashabiyah

yaitu

(daulah),

Negara

pembentuk

( ﻴّﺔ ـ اﻟﻌﺼﺒ ). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para

modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme

sentimen

atau

nasionalisme,

kesukuan,

Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori

Badawah

yaitu

fundamental

sosial

(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau

ﺣﻀﺎرة )(kehidupan

daerah gurun) dan Hadharah (

kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120).

menurutnya

kota

Penduduk

berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang

meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan

yang

Daerah

123).

(Muqaddimah:

berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui

kota.

penduduk

daripada

berani

lebih

penduduk kota malas dan suka yang

kenikmatan

dalam

larut

Mereka

mudah.

kemewahan. Mereka mempercayakan

penguasa.

kepada

harta

dan

diri

keamanan

Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-

tak

dan

kota

luar

di

jauh

tempat

Karena

tentara.

pengawasan

mendapatkan

mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat

kelompok

sentimen

memiliki

harus

pedalaman

(‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan

manusia,

sejarah

perjalanan

dalam

pendorong

memiliki

yang

Klan

klan.

suatu

pembangkit

‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki

biasanya terikat

solidaritas sosial. Setiap suku

pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin

Solidaritas

sempurna.

dengan

rakyatnya

menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas

solidaritas

atas

di

berada

yang

sosial

masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap

mengikutinya

patuh

dan

tunduk

untuk

(Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar

daripada

kekuasaan

memiliki

mampu

lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah,

kekuasaan

memiliki

mampu

lebih

mereka

merampas segala sesuatu yang berada

genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena

keberanian

melalui

dimiliki

kekuasaan

kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian

khususnya

Barbar

dan

‘Arab

masyarakat

pada

yang memang menjalani kehidupan

dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas

memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada

bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain.

negara

demikian,

situasi

Dalam

memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang

dijadikan

dan

kedaulatannya

dalam

ke

kuat

sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari

memperoleh

tambah

bukan

kehancuran,

kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn

itu

bangsa

suatu

apabila

Khaldun

kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas

(‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah

manusia

watak

pada

terdapat

tersebut

dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan

tempat

keTuhanan,

persamaan

atau

berdekatan atau bertetangga, persekutuan

aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang

menurut

Arab

bangsa

Khusus

dilindungi.

Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti.

Bangsa yang

Bangsa Arab adalah

menurutnya,

paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing

menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya

yang

kesukuan/qabilah

‘ashabiyyah

memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151).

Agama

motivasi

bahwa

pula,

menurutnya

tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama

memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan

tetap

tetapi

keampuhannya,

menambah

membutuhkan motivasi-mativasi lain

diluar

hal-hal

pada

bertumpu

(Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh

pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan

suku,

aneka

beragam

mempunyai

yang

dalam keadaan demikian masing-masing

mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn

Raja haruslah

seorang

bahwa

Khaldun menilai

berasal dari solidaritas kelompok yang

mengendalikan

dalam

Sebab

dominan.

negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan. Khilafah, Imamah, Sulthanah Khilafah menurut Ibn Khaldun

Agama

berlandaskan

yang

pemerintahan

memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau

pengganti

adalah

Khilafah

Sulthan.

Muhammad dengan tugas mempertahankan

kepemimpinan

menjalankan

dan

agama

Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga

berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya

sosial.

organisasi

terhadap

manusia

hukum wajibnya adalah fardhu

(Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat

Imam, ataupun Sulthan, yaitu:

bagi khalifah,

Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama

sebelumnya

Muslim

Pemikir

dengan

keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani

banyak

yang

jumlahnya

Dengan

Mudhar.

solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki

yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan

kewibawaannya, serta mereka hormat

keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh

keturunan

syarat

atau

Quraisy,

suku

didahulukan daripada kemampuan. Ini

didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy

diharapkan,

lagi

dapat

tidak

sudah

kepemimpinan dapat berpindah ke suku

kewibawaan,

mempunyai

yang

lain

kelompok

solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa

haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Ibn Khaldun berpendapat

pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan

membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah

kehendak dan

mengikuti

lebih

(mulk)

kerajaan

hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan

pada

ini

jenis

Pemerintahan

anarki.

sekarang menyerupai pemerintahan

inkonstitusional.

atau

otokrasi,

individualis,

Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah

membawa

yang

pemerintahan

yaitu

‘aqliyah),

rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah

berasaskan

yang

Pemerintahan

kemudharatan.

Undang-undang yang dibuat oleh

pandai.

orang

dan

cendekiawan

Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada

sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah),

membawa

yang

pemerintahan

yaitu

rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai

itu

pemerintahan

kebijaksanaan

asas

ajaran Agama, khususnya Islam, maka

Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan

rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Shalat yang harus diikuti

rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191).

nampak

diatas,

pemerintahan

pembagian

Dari

bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur

Rabi’

Abi

Ibn

dan

Al-Farabi

dibanding

pengklasifikasian pemerintahan. Ia

memandang pada sisi personalnya, juga

jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan. Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban

‘ashabiyyah,

teorinya

Berdasarkan

Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau

tahap,

lima

menjadi

peradaban

(Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang

menggulingkan kedaulatan dari

sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap

penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya.

memimpin

ini, orang yang

Pada tahap

senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka

pemerintahannya.

ingin turut serta dalam

yang

Maka segala perhatiannya ditujukan

kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan

penguasa

perhatian

Segala

dinikmati.

telah

tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap

tahap

Pada

berlebihan.

dan

boros

hidup

penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun

Generasi

1.

generasi, yaitu:

tiga

memunculkan

Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas

Generasi

2.

didukungnya.

yang

kekuasaan

Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam

terhadap

lagi

peka

tidak

menjadi

kekuasaan,

kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi

negara

keruntuhan

maka

ini,

ketiga

sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan

diantara

‘Ashabiyyah

dengan

ditambah

membuat mereka berusaha keras

mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan

kemudian

tercapai

yang

Impian

keras.

yang

memunculkan sebuah peradaban baru.

biasanya

pula

ini

baru

peradaban

kemunculan

diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan

kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.

0 comments:

Post a Comment

Jika anda menyukai artikel ini, mohon dikomentari dengan cara yang sopan dan santun.

Jika Anda Menyukai Artikel Ini Mohon Klik Like di Bawah Ini :

komentar melalui facebook: