Pages

Thursday, April 18, 2013

GALERI LUKISAN MAHAKARYA ISLAM DI BEKAS KELENTENG

kaligrafi_lukisan1
Sebuah kelenteng zaman dinasti Qing menjadi galeri sejumlah lukisan mahakarya Islam. Perpaduan budaya itu merupakan tampilan khas Loro Jonggrang, sebuah kafe sekaligus galeri di sudut Menteng, Jakarta Pusat.
Rangka kayu antik didominasi dua warna kuning dan merah serta pintu lima meter berprofil dewa penjaga kelenteng berdiri megah menaungi lukisan penghakiman para jin oleh Nabi Sulaiman AS yang didampingi Ratu Sheba. Lukisan itu adalah reproduksi dari mahakarya Al Bihzad (1465-1535 M), satu-satunya pelukis figuratif dunia Islam semasa zaman keemasan Kesultanan Ottoman dari wangsa Sazavid selaku pelindung seni.
Bihzad yang kelahiran Herat, salah satu wilayah Afganistan dewasa ini, adalah trend setter seni Islam dan dunia sebelum gaya Baroque dari Italia dan Austria muncul di abad 18. Bihzad dan para pengikutnya mengemuka di masa Kerajaan Majapahit mulai surut dan muncul kesultanan-kesultanan di Nusantara. Sementara di China muncul salah satu dinasti terbesar, yakni Ming di bawah Kaisar Yong Le dengan salah satu tokoh Muslim-nya, Zheng He, yang dikenal di Indonesia dengan nama Cheng Ho atau Dampo Awang yang melanglang buana.
Latar sejarah yang unik itu dikombinasikan oleh Anhar Setijadibrata, sang pemilik galeri. Apalagi, kedua produk peradaban itu memiliki nasib nyaris serupa.
Bangunan kelenteng dan lukisan Bihzadian sama-sama lolos dari proses penghancuran akibat tekanan politis. Kelenteng Dinasti Qing di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu tergusur oleh proyek pembangunan zaman Orde Baru, sedangkan sejumlah reproduksi lukisan Bihzad adalah mahakarya yang tersisa dari perang saudara di Afganistandan pemerintahan Taliban.
“Saya mengumpulkan (sisa-sisa dari) lima kelenteng yang digusur semasa Orde Baru. Bangunan bersejarah yang usianya minimal dua setengah abad itu diperlakukan seperti kayu tua. Semua dikumpulkan dan dibangun kembali dan diselamatkan sebagai galeri seni,” kata Anhar.
Kelenteng itu secara khusus menjadi naungan reproduksi lukisan mazhab para maestro Bihzadian. Anhar mengusung kejayaan budaya Islam dan Tionghoa yang pernah menjadi pusat peradaban dunia di saat masyarakat Eropa masih tinggal di dalam gua pada masa kegelapan dan baru akan mulai membangun peradaban.
Unik
Lukisan figuratif Islam itu memiliki keunikan tersendiri, yakni komposisi warna khas ala Persia dan Moghul Akbar di India dengan dominasi warna-warna cerah. Garis dan lengkungan khas untuk ornamen serta tanaman dan sosok wajah manusia oriental dengan tampilan mata menyipit melengkapi gaya Bihzadian.
Menurut Anhar, para pelukis Muslim mazhab Bihzadian di Asia Selatan selepas Dinasti Moghul menampilkan nuansa Islam dalam lukisan yang dibuatkan bagi para Pangeran Kerajaan Hindu di India. Bihzadian sempat berkembang di India hingga pertengahan abad ke-19 ketika kekuasaan Inggris di bawah Ratu Victoria mencapai puncak kejayaannya.
Victoria, yang digelari Maharani India, mengakibatkan terjadinya Anglosentris, yakni acuan budaya beralih ke Barat. Seni budaya termasuk lukisan pun berorientasi ke Eropa-Inggris.
Itulah akhir masa keemasan Bihzadian. Karya-karya seni Bihzadian kemudian menjadi kolekasi museum serta sejumlah kerajaan kecil di India. Seiring perkembangan zaman, hanya satu atau dua saja dari lukisan Bihzad yang berhasil diselamatkan di sejumlah museum di Turki, Iran, Eropa, dan Amerika Serikat. Namun, jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari!
Di negeri asalnya, Afganistan, pada masa kerajaan sekitar tahun 1919-1978, penguasa tidak melarang lukisan figuratif ala Bihzad. Mereka justru mempromosikan benda-benda arkeologi dan benda seni peninggalan zaman Buddha di negeri itu di museum di Kabul. Para penguasa juga mengabadikan potret diri mereka pada uang kertas yang beredar.
Untuk sesaat, seni Bihzadian sempat bangkit kembali pada tahun 1960-an hingga awal tahun 1970. Seorang pelukis bernama Mash’al mendapat inspirasi dari lukisan Bihzad yang ditemukan di sejumlah majalah Eropa.
Mash’al pun melukis seluruh dinding-dinding Kota Herat dengan lukisan figuratif meniru gaya Bihzadian. Beberapa lukisan Mash’al itulah yang kemudian diboyong Anhar ke Galeri Kelenteng di belakang Kafe Loro Jonggrang, Jakarta.
Kutub peradaban umat manusia, teknologi, dan ekonomi dunia saat itu memang berpusat di Asia. Hubungan timur dengan timur antara Islam dan Tiongkok tidak dibangun dengan senjata dan semangat kolonialisme.
Itulah pesan yang hendak dibawa Anhar Setijadibrata tentang kombinasi kekuatan Pan-Asia yang ditakuti dunia barat. Kekayaan alam Asia digabungkan dengan etos kerja Tionghoa dan kode moral Islam serta Nusantara merupakan kekuatan mahadahsyat.

No comments:

Post a Comment

Jika anda menyukai artikel ini, mohon dikomentari dengan cara yang sopan dan santun.